Kritik terhadap pelaksanaan pilkada yang digelar sejak 2005-2007 makin menghangat. Beberapa tokoh mulai khawatir dan resah terhadap pelaksanaan pilkada yang dinilai justru mereduksi nilai-nilai demokrasi. Bahkan menariknya setiap orang atau lembaga ketika mengkritik praktek demokrasi di Indonesia, maka selalu mengedepankan pilkada sebagai bukti betapa buruknya demokrasi saat ini. Tentu pandangan ini sangat bertentangan dari semangat filosofis yuridis dari pelaksanaan pilkada itu sendiri.
Sebenarnya UUD 1945 hasil amandemen keempat tidak secara terang mengatur soal pilkada langsung. Pada dasarnya UUD 1945 hanya mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Artinya, karakter dan filosofi awal dari pelaksanaan pilkada adalah nilai demokratisasi. Sehingga gagal tidaknya pilkada sebagai bagian dari demokratisasi tentunya dapat dilihat dari demokratis tidaknya pelaksanaan pilkada. Menurut hemat saya, demokratisasi pada pilkada setidaknya mengandung beberapa indikator. Pertama, rakyat memiliki kemandirian dan kapasitas yang rasional dalam menentukan pilihannya. Kedua, proses pilkada berlangsung dengan baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Ketiga, pilkada mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas yang mamadai. Keempat, kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk pemerintahan yang bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tentu berlebihan apabila pelaksanaan pilkada sepanjang 2005-2007 dianggap telah memenuhi indikator sederhana di atas. Dalam konteks kemandirian pemilih misalnya, sepertinya tidak mudah mendapatkan ribuan massa yang hadir secara ikhlas dan sukarela pada sebuah kampanye pilkada. Praktek money politik yang merebak selama pelaksanaan pilkada menjadi indikasi betapa lemahnya kemandirian politik dalam pilkada. Lumpuhnya kemandirian politik dipicu oleh bertemunya pragmatisme massa dan elit yang dibalut asas simbiosis mutualisme.
Sisi lain, proses pilkada pada umumnya berlangsung damai. Namun sisi damai itu tidak diimbangi oleh kualitas tahapan pilkada yang berlangsung. Pada tahapan pendaftaran pemilih misalnya, hampir semua pilkada yang telah berlangsung mengalami masalah pada tahapan ini. Selanjutnya, proses penghitungan suara dan penetapan pemenang juga sering memicu konflik. Namun kelemahan yang terdapat dalam proses pilkada selama ini masih disikapi secara dewasa oleh masyarakat. Sehingga banyak pilkada yang sejak awal diprediksi bergejelok pada kenyataanya berlangsung lancar.
Selain itu, mengukur keberhasilan pilkada dengan melihat kualitas calon terpilih tentu amat susah. Sejatinya pilkada menjadi momentum rakyat untuk memilih calon pemimpin yang beraneka ragam secara langsung. Lewat pilkada pilihan calon pemimpin menjadi banyak. Namun kenyataannya, rakyat sesungguhnya diminta memilih calon yang sudah dipilih oleh elit tertentu lewat partai politik. Minimnya akuntabilitas parpol dalam rekruitmen calon kandidat memutus semangat pilihan langsung masyarakat. Apalagi sampai saat ini, ketentuan hadirnya calon non parpol pada pilkada masih terganjal oleh egoisme elit parpol yang ada di DPR. Fenomena tersebut kemudian melahirkan pesimisme akan lahirnya pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas. Rakyat akhirnya dipaksa memilih kucing dalam karung, sebab mereka sejak awal tidak dilibatkan dalam proses perekrutan kandidat.
Keterbatasan kapasitas calon yang terpilih dalam pilkada cukup berpengaruh pada kualitas pemerintahan yang dibentuk. Harapan adanya pemerintahanyang bersih menjadi sulit terwujud akibat keterbatasan kapasitas. Selain itu, proses pilkada yang tidak berlangsung secara demokratis dan transparan akan memicu lahirnya pemerintahan yang korup dan serba pragmatis. Banyak keluhan yang dilontarkan rakyat di level grass root yang tidak mengalami perubahan hidup pasca pergantian pemimpin pemerintahan.
Pesimisnya terhadap posisi pilkada sebagai salah satu instrumen demokrasi di saat ini seharusnya menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas pilkada itu sendiri. Secara jujur mesti diakui bahwa pilkada memang belum mampu secara maksimal menjadi media terkonsolidasinya kekuatan demokrasi. Namun pilkada memberikan peluang dan memberikan kepastian format demokrasi yang transparan dan akuntabel apabila dilaksanakan secara demokratis pula. Pilkada secara jelas memberikan ruang yang lebih bebas bagi masyarakat dibanding dengan model pemilihan perwakilan. Selain itu, pilkada masih memberi peluang menyelesaikan hegemoni parpol dibanding menyerahkan sepenuhnya pemilihan tersebut ke parpol melalui mekanisme perwakilan di DPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar