KOMITE INDEPENDENT PEMANTAU PEMILU Kabupaten Kebumen - Jawa Tengah

Selasa, 31 Agustus 2010

Mengoptimalkan Wisata Lebaran Di Kebumen


Terletak di jalur pantai selatan Jawa Tengah (Jateng) dengan Topografinya yang lengkap berupa dataran rendah dengan panorama pantai yang elok menjadikan Kebumen termasuk kabupaten yang punya potensi wisata cukup baik dan beragam. Potensi alam yang bagus, kekayaan budaya dan masyarakatnya yang heterogen serta kulinernya yang merakyat seperti sate ambal, soto tamanwinangun, lanthing, dan bermacam-macam makanan khas daerah dapat ditemui di daerah yang memiliki slogan Kota Beriman (bersih, indah, manfaat, aman dan nyaman) tersebut.

Potensi wisata yang beragam mulai dari kekayaan alam pantai, gua, bukit dan pegunungan maupun potensi seni budaya dan peninggalan sejarah tentunya menjadi daya tarik bagi para pelancong wistawan domestic maupun luar negeri. Sehingga pada ahirnya kehidupan pariwisata di kebumen juga mulai bergeliat. Secara mudah geliat wisata di Kebumen dapat dikategorikan wisata musiman dan mapan. Wisata mapan telah mempunyai pengunjung tetap setiap saat. Sedangkan wisata musiman dicirikan pada sifat keramaian hanya pada saat tertentu saja, terutama pada musim lebaran. Pada muasim lebaran terjadi peningkatan pengunjung di seluruh objek wisata sejak H+1 sampai H+11 lebaran.

Berbagai pemandangan khas bisa dinikmati selama masa lebaran. Pada H+1 dan H+2 biasanya orang akan ramai berbondong-bondong menuju pantai brencong yg terletak di desa Setrojenar. Kemudian pada H+3 sampai H+10 titik keramaian akan berpindah ke pantai Logending dan pantai petanahan. Untuk selanjutnya giliran pantai RaWa Mirit yang  biasanya dibanjiri pengunjung pada H+11, maklum disana biasanya ada tradisi Grebeg Rawa.  Rasanya belum lengkap jika para pelancong tidak singgah ke Gua Petruk, Gua Jatijajar yang sejuk dan eksotik. Maka selama musim lebaran dua wisata alam itu juga kebanjiran pengunjung.

Membanjirnya pelancong di Kebumen tentu memberi dampak ekonomi bagi masyarakat setempat. Meningkatnya ekonomi masyarakat juga akan berdampak positif bagi pendapatan asli daerah dan kestabilan keamanan. Kreativitas masyarakat untuk membuat kerajinan khas ikut ber-kembang pula. Mereka jeli menangkap peluang pasar untuk menambah income sehari-hari. Ironis memang ketika potensi besar itu belum mampu mencapai target Pendapatan Asli Daerah. Padahal jika di optimalkan bukan hal yang mustahil jika dalam musim lebaran saja  sector wisata dapat memberi income milyaran rupiah ke daerah.

Sesuatu yang realistis, apalagi Industri pariwisata mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi perkembangan wilayah di daerah sekitar obyek wisata, sehinggga dapat bertindak sebagai leading industries. Konsep leading industries mendasarkan pemikiran bahwa pada pusat-pusat pertumbuhan terdapat suatu kegiatan dan kegiatan tersebut merupakan daya tarik yang berupa obyek wisata yang menarik dan padat pengunjung yang terletak pada lokasi yang strategis. Jika wisata maksimal maka sector lainya akan tergerakan, dan artinya peluang kerja semakin terbuka dan pada ahirnya kesejahteraan rakyat juga akan meningkat.

Namun apalah artinya punya aset wisata yang banyak dan menarik, jika tidak dikelola secara profesional, kekayaan alam tersebut tidak akan berarti apa-apa, kecuali sekadar tempat wisata yang mengantungan pada tradisi budaya yang lambat laun juga memudar.  Karena itu, jika ingin mengembalikan kejayaan dunia pariwisata di Kebumen, mau tak mau pemerintah daerah (pemkab) harus berani mengambil kebijakan strategis. Dan tidak ada salahnya jika menggandeng atau menyerahkan pengelolaan tempat wisata pada pihak swasta (swastanisasi), Jika ternyata pemkab tidak mampu mengelola sendiri.

Selasa, 24 Agustus 2010

PLUS MINUS PILKADA LANGSUNG

Kritik terhadap pelaksanaan pilkada yang digelar sejak 2005-2007 makin menghangat. Beberapa tokoh mulai khawatir dan resah terhadap pelaksanaan pilkada yang dinilai justru mereduksi nilai-nilai demokrasi. Bahkan menariknya setiap orang atau lembaga ketika mengkritik praktek demokrasi di Indonesia, maka selalu mengedepankan pilkada sebagai bukti betapa buruknya demokrasi saat ini. Tentu pandangan ini sangat bertentangan dari semangat filosofis yuridis dari pelaksanaan pilkada itu sendiri. 

Sebenarnya UUD 1945 hasil amandemen keempat tidak secara terang mengatur soal pilkada langsung. Pada dasarnya UUD 1945 hanya mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Artinya, karakter dan filosofi awal dari pelaksanaan pilkada adalah nilai demokratisasi. Sehingga gagal tidaknya pilkada sebagai bagian dari demokratisasi tentunya dapat dilihat dari demokratis tidaknya pelaksanaan pilkada. Menurut hemat saya, demokratisasi pada pilkada setidaknya mengandung beberapa indikator. Pertama, rakyat memiliki kemandirian dan kapasitas yang rasional dalam menentukan pilihannya. Kedua, proses pilkada berlangsung dengan baik, lancar dan damai sesuai dengan prosedur yang demokratis. Ketiga, pilkada mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas yang mamadai. Keempat, kepemimpinan yang dilahirkan oleh proses pilkada harus mampu membentuk pemerintahan yang bersih dan kuat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tentu berlebihan apabila pelaksanaan pilkada sepanjang 2005-2007 dianggap telah memenuhi indikator sederhana di atas. Dalam konteks kemandirian pemilih misalnya, sepertinya tidak mudah mendapatkan ribuan massa yang hadir secara ikhlas dan sukarela pada sebuah kampanye pilkada. Praktek money politik yang merebak selama pelaksanaan pilkada menjadi indikasi betapa lemahnya kemandirian politik dalam pilkada. Lumpuhnya kemandirian politik dipicu oleh bertemunya pragmatisme massa dan elit yang dibalut asas simbiosis mutualisme.
Sisi lain, proses pilkada pada umumnya berlangsung damai. Namun sisi damai itu tidak diimbangi oleh kualitas tahapan pilkada yang berlangsung. Pada tahapan pendaftaran pemilih misalnya, hampir semua pilkada yang telah berlangsung mengalami masalah pada tahapan ini. Selanjutnya, proses penghitungan suara dan penetapan pemenang juga sering memicu konflik. Namun kelemahan yang terdapat dalam proses pilkada selama ini masih disikapi secara dewasa oleh masyarakat. Sehingga banyak pilkada yang sejak awal diprediksi bergejelok pada kenyataanya berlangsung lancar.

Selain itu, mengukur keberhasilan pilkada dengan melihat kualitas calon terpilih tentu amat susah. Sejatinya pilkada menjadi momentum rakyat untuk memilih calon pemimpin yang beraneka ragam secara langsung. Lewat pilkada pilihan calon pemimpin menjadi banyak. Namun kenyataannya, rakyat sesungguhnya diminta memilih calon yang sudah dipilih oleh elit tertentu lewat partai politik. Minimnya akuntabilitas parpol dalam rekruitmen calon kandidat memutus semangat pilihan langsung masyarakat. Apalagi sampai saat ini, ketentuan hadirnya calon non parpol pada pilkada masih terganjal oleh egoisme elit parpol yang ada di DPR. Fenomena tersebut kemudian melahirkan pesimisme akan lahirnya pemimpin yang memiliki kapasitas dan akseptabilitas. Rakyat akhirnya dipaksa memilih kucing dalam karung, sebab mereka sejak awal tidak dilibatkan dalam proses perekrutan kandidat.

Keterbatasan kapasitas calon yang terpilih dalam pilkada cukup berpengaruh pada kualitas pemerintahan yang dibentuk. Harapan adanya pemerintahanyang bersih menjadi sulit terwujud akibat keterbatasan kapasitas. Selain itu, proses pilkada yang tidak berlangsung secara demokratis dan transparan akan memicu lahirnya pemerintahan yang korup dan serba pragmatis. Banyak keluhan yang dilontarkan rakyat di level grass root yang tidak mengalami perubahan hidup pasca pergantian pemimpin pemerintahan.

Pesimisnya terhadap posisi pilkada sebagai salah satu instrumen demokrasi di saat ini seharusnya menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas pilkada itu sendiri. Secara jujur mesti diakui bahwa pilkada memang belum mampu secara maksimal menjadi media terkonsolidasinya kekuatan demokrasi. Namun pilkada memberikan peluang dan memberikan kepastian format demokrasi yang transparan dan akuntabel apabila dilaksanakan secara demokratis pula. Pilkada secara jelas memberikan ruang yang lebih bebas bagi masyarakat dibanding dengan model pemilihan perwakilan. Selain itu, pilkada masih memberi peluang menyelesaikan hegemoni parpol dibanding menyerahkan sepenuhnya pemilihan tersebut ke parpol melalui mekanisme perwakilan di DPR.

Lobby & Negosiasi Dalam Konflik


Setiap orang sejatinya adalah seorang negosiator. Tanpa disadari, setiap orang sesungguhnya kerap melakukan lobby dan negosiasi dalam keseharian hidup sebagai upaya mewujudkan keinginannya. Bahkan selagi masih kecil, seorang anak kerap menggunakan cara tertentu untuk meminta dibelikan uang jajan atau dibelikan mainan oleh orangtuanya, entah dengan merayu, merajuk, sampai menangis. Lobby dan negosiasi juga terjadi antara istri dan suami, pedagang dan pembeli, pejabat dan stafnya, antar politisi, antar pengusaha, dan seterusnya. Singkatnya, lobby dan negosiasi hampir selalu muncul dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik itu individual maupun kelompok.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negosiasi diartikan sebagai proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dengan pihak lain. Sedangkan berdasarkan New Oxford American Dictionary (2nd Edition), lobby diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi seseorang (pejabat politik atau publik) atas suatu isu. Dengan definisi ini, baik lobby maupun negosiasi pada prinsipnya memiliki makna yang sama, yaitu membuka ruang pertukaran sumber daya untuk memenuhi kebutuhan.

Perbedaan atas keduanya lebih pada bentuknya saja. Bentuk formal biasa disebut negosiasi, sedangkan bentuk informal dinyatakan sebagai lobby. Proses lobby tidak terikat waktu dan tempat, dan bisa dilakukan terus menerus dalam waktu panjang. Namun
proses lobby juga memerlukan kemampuan komunikasi interpersonal yang lebih tinggi dibandingkan dengan negosiasi. Kemampuan interpersonal ini dipakai untuk mengolah proses pertukaran kepentingan dalam situasi yang nyaman dan bersahabat.

Walau mengandung konflik, lobby atau negosiasi sejatinya merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perbedaan kepentingan. Dengan mengembangkan kemampuan lobby dan negosiasi, setiap pihak bisa mendapatkan apa yang dibutuhkannya tanpa harus melakukan cara-cara ekstrim, seperti perang, pemaksaan, atau perebutan. Secara umum, suatu proses lobby atau negosiasi akan menghasilkan 4 kemungkinan : Kuadran Kalah-kalah (Menghindari konflik), Kuadran Menang-kalah (Persaingan), Kuadran Kalah-menang (Mengakomodasi), dan Menang-menang (Kolaborasi). Berbicara mengenai negosiasi, ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu soft bargaining, hard bargaining dan principled negotiation

Soft bargaining
Soft bargaining melibatkan bentuk negosiasi yang menitikberatkan pada posisi (menang/kalah), dibandingkan kepentingan dari diadakannya negosiasi itu sendiri. Akan tetapi, untuk menghindari masalah-masalah yang kerap muncul dalam perundingan yang melibatkan posisi, para negosiator akan melakukan pendekatan ”soft” seperti memperlakukan lawan bicaranya sebagai teman, mencari kesepakatan dengan harga apapun, dan menawarkan sebuah hasil perundingan atas dasar penciptaan hubungan yang baik dengan lawan bicara._Para pelaku negosiasi yang melakukan pendekatan dengan cara seperti berikut akan mempercayai lawan bicaranya, dan akan bersikap terbuka dan jujur mengenai prinsip-prinsip dasar atau alasan mendasar yang mereka miliki mengenai perundingan tersebut kepada lawan bicara mereka. Hal ini akan membuat mereka menjadi rentan bagi para ”hard bargainers” yang akan bertindak secara kompetitif dengan
menawarkan hanya beberapa pilihan saja yang benar-benar sesuai dengan alasan mendasar mereka, bahkan melakukan ancaman. Di dalam sebuah perundingan yang melibatkan perunding keras dan lembut, maka akan kita temui bahwa perunding keras hampir selalu tampil dengan kesepatakan yang lebih baik secara mendasar.

Hard bargaining
Sebagaimana yang sudah diutarakan pada bagian soft bargaining, hard bargaining juga menitikberatkan pada posisi dibanding kepentingan dari perundingan yang terjadi. Negosiator dengan pendekatan semacam ini sangatlah bersifat kompetitif, dengan melihat kemenangan sebagai satu-satunya tujuan akhir. Bagi beberapa orang pakar, perunding-perunding keras ini memadang lawan bicara mereka sebagai saingan. Mereka tidak mempercayai lawan bicara mereka dan berusaha untuk bermain secerdik mungkin untuk mencoba mendapatkan keuntungan maksimal dalam negosiasi. Sebagai contohnya, mereka akan tetap berpegang teguh dengan posisi awal mereka, atau tawaran pertama mereka, menolak untuk melakukan perubahan. Mereka mencoba untuk mengecoh lawan bicara mereka khususnya terhadap alasan mereka (soft bargainers) dating ke perundingan tersebut dan menuntut keuntungan sepihak dalam pencapaian kesepakatan. Mereka akan memberlakukan trik dan tekanan dalam usaha mereka untuk menang pada sesuatu yang mereka anggap sebagai sebuah kontes kemauan. Bilamana mereka berhadapan dengan perunding lunak, maka para perunding keras ini cenderung untuk selalu menang. Lain halnya jika berhadapan dengan perunding keras lainnya, di mana ada kemungkinan tidak tercapainya kata sepakat sama sekali (no outcome).

Principled Negosiation
Principled negotiation adalah nama yang diberikan untuk pendekatan yang berbasiskan pada kepentingan yang tertulis di dalam sebuah buku, Getting to Yes, yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1981 oleh Roger Fisher dan William Ury. Di dalam buku tersebut tertulis empat dasar di dalam negosiasi: 1) pisahkan antara pelaku dengan masalah; 2) fokus pada kepentingan, bukan posisi; 3) ciptakan pilihan untuk hasil yang mutual; 4) tekankan pada kriteria yang bersifat objektif.
Memisahkan pelaku dari masalah berarti meniadakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah personal dari isu inti, dan bila memang ingin dibicarakan, sebaiknya dibicarakan secara independen. Masalah personal/orang umumnya akan melibatkan masalah yang berkaitan dengan persepsi, emosi dan komunikasi. Persepsi adalah sesuatu yang penting karena hal tersebut membantu dalam pendefinisian masalah serta solusinya. Dan bilamana terdapat kenyataan yang sifatnya objektif dan kenyataan tersebut diinterpretasikan secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula, pada akhirnya kata sepakat akan sulit tercapai.

Sabtu, 21 Agustus 2010

KIPP Serukan Rekonsiliasi Pasca Pemilukada

Pemilukada Kebumen telah mengantarkan pasangan H.Buyar Winarso,S.E – Djuwarni, A.Ma.Pd sebagai pemenang. Secara umum pemilukada telah berjalan demokratis dan menjadi pendidikan politik dan demokrasi bagi masyarakat Kebumen. Kedewasaan berpolitik masyarakat juga perlu menjadi catatan tersendiri. Meski pemilukada harus berlangsung samapai dua putaran nyatanya tetap dalam suasana kondusif. Tanpa kedewasaan masyarakat dalam berpolitik dan berdemokrasi barangkali hal itu sulit dicapai. Dalam menyikapi persoalan yang terjadi termasuk dugaan kecurangan dan sengketa pemilukada masyarakat juga lebih memilih menggunakan hak konstitusionalnya dengan menyerahkan pada lembaga dan proses hukum yang berlaku.

Seluruh sumber daya, pikiran, dan anggaran telah terkuras untuk penyelenggaraan hajatan demokrasi. Karena itu, setiap pasangan calon harus diingatkan pada janji setia untuk siap menang dan siap kalah. kesiapan untuk menang dan kalah dalam setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya berkaitan dengan pasangan calon yang berlaga. Sikap siap menang dan siap kalah seharusnya juga ditunjukkan partai pengusung, partai pendukung, dan tim sukses. Itulah substansi dari sistem demokrasi yang menekankan pada prinsip kedaulatan rakyat.
Jika sikap siap menang dan siap kalah tidak secara konsisten dijalankan, konflik politik akan terus memanas. Bahkan, hal tersebut bisa menyulut dendam politik. Masyarakat tentu tidak mengharapkan hal itu terjadi. Karena itu, pasangan yang kalah secepatnya harus mengucapkan selamat kepada pasangan yang menang. Berbagai polemik dan pro kontra termasuk perdebatan terkait wacana pembentukan pansus pemilukada juga harus diahiri mengingat semua persoalan sengketa pilkada telah diputus olek Mahkamah Konstitusi dan bersifat final.

Perlu Rekonsiliasi

Meski hanya diusung koalisi partai kecil, kemenangan Buyar - Djuwarni harus dilihat sebagai kemenangan rakyat Kebumen. Seluruh warga Kebumen telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Kekhawatiran sebagian orang yang menduga bahwa Kebumen rawan kerusuhan sosial akibat sentimen ideologi dan kepentingan politik ternyata tidak terjadi. Yang perlu dilakukan bupati terpilih adalah merangkul seluruh komponen masyarakat. Termasuk pasangan calon yang menjadi kompetitor. Rekonsiliasi perlu dilakukan dengan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat. Hanya dengan cara tersebut, pasangan Buyar – Djuwarni yang mengusung slogan insyaalloh aku sing ngerti karepmu dapat merealisasikan program yang dijanjikan. 

Selain itu seluruh elemen baik DPRD, akademisi, pakar, aktivis, dan kelompok-kelompok masyarakat juga perlu digandeng mengingat masih banyaknya persoalan baik dari insfrastuktur maupun sosial yang perlu mendapat perhatian serius. Posisi kelompok-kelompok di masyarakat akan menjadi saksi sekaligus kekuatan check and balances. Selamat kepada masyarakat Kebumen karena telah menuntaskan proses pemilukada secara demokratis 

Pada sosok Buyar yang akan menjadi nakhoda Kebumen lima tahun mendatang memang dikenal dengan brand Insya Alloh aku sing ngerti karepmu, rakyat menaruh harapan besar bagi perubahan Kebumen yang lebih baik. Publik tentu akan menjadi saksi gebrakan dan terobosan dari realisasi visi misi serta program yang dijanjikan pada saat kampanye.

MANIFESTO POLITIK KIPP KEBUMEN

Pemilukada  2010 sesungguhnya merupakan momentum bagi terkonsolidasinya proses demokratisasi di daerah yang ditandai dengan perbaikan dalam kehidupan politik lokal. Hal ini semestinya wajib dijawab oleh kekuasaan politik yang sedang berjalan beserta pranata politik ditingkat supra struktur seperti Komisi Pemiluhan Umum Daerah (KPUD) dan semua stake holdernya di semua tingkatan yang menjadi ujung tombak sukses dan tidaknya pemilukada.Sistem baru pemilu adalah tantangan bagi KPUD untuk mendorong peningkatan kualitas demokrasi sehingga tercipta peningkatan partisipasi politik masyarakat secara luas. Namum yang terjadi cenderung sebaliknya, yaitu apatisme public dalam memandang pemilu. Bahkan sangat ironis bahwa proses pemilu dijalankan hanya sekedar “ritual politik” lima tahunan semata yang mentoleransi politik uang.

Disisi lain lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pemilu juga memberikan celah bagi para politisi oportunis (calon) yang menghalalkan segala cara. Panwaslukada harus lebih responsive dalam pengawasan setiap tahapan pemilu. Pelanggaran kampanye, money politik dan tindak pidana pemilu lainya kini belum satupun diungkap oleh panwaslu.

Oleh karenanya selain adanya regulasi strategis dan mendasar agar pemilukada menjadi lebih signifikan dalam kepentingan demokratisasi di Indonesia maka KPUD dan Panwaslu dituntut untuk meningkatkan kinerjanya. Sinergitas dari semua stake holder semestiya harus segera didorong pada kesepahaman bersama yang meliputi :
  1. Bahwa pemilukada harus dipandang sebagai mekanisme koreksi total terhadap sistem kekuasaan yanag berjalan, bukan sekedar rekrutmen elit politik baru ditingkat daerah.
  2. Pemilukada harus mampu menjadi sarana yang mendorong peningkatan kualitas demokrasi, dengan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
  3. Pemiluka harus membuka ruang kompetisi politik yang sehat dan mampu menstimulasi kontestan politik dalam mengedepankan gagasan-gagasan strategis yang konseptual, bukan sekedar penonjolan figur individu.
  4. Partisipasi politik dalam pemilukada yang digerakan tidak terjebak dalam tradisi politik dagang sapi yang justru mengerdilkan budaya politik di masyarakat luas.

Jumat, 20 Agustus 2010

Press Release

PARTAI MASIH MALU-MALU TENTUKAN ARAH KOALISI

KPUD Kebumen secara resmi telah menetapkan Pilkada Kabupaten Kebumen berlangsung dua putaran.Sebagaimana telah ditetapkan KPU melalui SK KPU nomor 270/19/KEP/2010 tentang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati putaran kedua. Sesuai ketentuan yang ada Pilkada putaran kedua dilaksanakan 6 Juni 2010 mendatang. Menjelang putaran kedua komunikasi dan lobi politik nampaknya belum mencapai titik temu. Beberapa partai politik yang kemarin mendukung Poniman-Ifah (Golkar dan PKS) dan mendukung Rustrityanto-Rini (PDI.P) sampai saat ini belum menentukan sikap akan mengalihkan dukunganya kemana.

Mestinya partai harus segera menentukan sikap dan menyampaikannya secara terbuka pada masyarakat khususnya pada kader-kadernya. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Namun sangat disayangkan karena sampai hari ini partai-partai masih malu-malu akan mengarahkan dukunganya ke siapa (buyar atau nasir-red). Sejauh manakah peran dan kekuatan parpol dalam suksesi pilkada putaran kedua akan dapat dilihat dari keberanian parpol mendeklarasikan arah koalisi.

Awasi Netralitas PNS

Menjelang pilkada putaran ke dua kami juga mengingatkan kepada panwas untuk lebih memaksimalkan perannya. Terutama pengawasan netralitas PNS dan money politik. Kami mendesak Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kepala Daerah Kabupaten Kebumen agar bekerja ekstra mengawasi netralitas pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah kabupaten (pemkab) Kebumen. Soalnya, sekarang ini terindikasi sejumlah pejabat eselon II, III, dan IV yang secara diam-diam terlibat dalam kegiatan politik praktis untuk memenangkan salah satu pasangan kandidat bupati/wakil. Memang, Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen sudah menerbitkan surat edaran agar seluruh PNS di daerah ini menjaga netralitas. Tapi, sejauh ini di lapangan masih banyak PNS yang terindikasi berpihak kepada kandidat bupati/wakil bupati tertentu.

Netralitas PNS dalam pilkada sangat penting dalam mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang aman, jujur, tertib dan bersih. Sementara jika pilkada berlangsung dengan jujur, demokratis dan cerdas, maka harapan bahwa pilkada akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang reformis di daerah akan dapat terwujud. Melalui lahirnya kepala daerah yang reformis itu, maka perbaikan akan nasib rakyat akan dapat diwujudkan. Dalam kondisi inilah, peran PNS dalam kenetralannya sangat penting.

AKTIVIS MUDA HAWATIRKAN KUALITAS DPRD


Kalangan aktivis muda Kebumen mengkhawatirkan kualitas SDM anggota DPRD terpilih. Sebab, dari 50 legislatif baru, hanya 19 orang yang incumbent atau wajah lama. Muhammad Luhamul Amani dari komite independen pemantau pemilu (KIPP) Kebumen kemarin menyatakan, dari komposisi anggota fraksi kini lebih berimbang. PDI-P diperkirakan meraih 15 kursi, partai Golkar 7 kursi, partai Demokrat 7 kursi, PPP 6 kursi, PAN 5 kursi, PKB 4 kursi, PKNU 3 kursi, PKS 2 kursi, dan Partai Gerindra 1 kursi.

Menurut Luham, komposisi tersebut diperkirakan membuat konstelasi politik menjadi seimbang dan dinamis. Namun pertanyaan justru pada kualitas SDM para wakil rakyat tersebut. Sebab, tugas Dewan kedepan makin berat. Mereka harus paham penysynan anggaran dan penerapan aspirasi. Luham mengharap partai yang memiliki kursi DPRD sejak sekarang melakukan pembekalan dan pendidikan politik, terutama tugas-tugas legislatif. Perlu ditekankan agar DPRD lebih aspiratif dan mampu memperjuangkan kepentingan konstituen. “Peningkatan SDM Dewan harus diprioritaskan” ujar Luham